Hubungan lukisan The last supper dengan Smaradhana

 


Oleh : Rizky septino Ardiansyah

SPI 1 


Sebelum kita mengenal dari konsep nya terlebih dahulu kita mengenal asal dari dua lukisan ikonik ini.

Lukisan The last supper diciptakan oleh Leonardo da Vinci di Italia pada masa Renaisans yang dimana waktu itu Eropa sedang berada di zaman pencerahan yang melahirkan beberapa ranah pengetahuan dari melewati dark age yang sangat membuat Eropa terpuruk. Lalu di waktu yang sama telah lahir sebuah karya indah berasal dari Nusantara tepatnya di Bali yaitu sebuah lukisan Hindu Budha bernama Smaradhana yang memiliki konsep cerita epos. 

Lalu bagaimana kesamaan ini bisa muncul antara lukisan the last supper dan Smaradhana terlebih lagi waktu itu jauh dari kata era kolonialisme dan Eropa masih zaman perubahan Renaissans belum ada perkembangan teknologi saat itu. Maka dari itu penulis menceritakan konsep 2 lukisan ini yang menjadi ikonik tersendiri dan memiliki kesamaan teori pada perkembangannya jauh sebelum para ilmuan abad 20 membuat literatur teori.

Italia abad 15. Di sebuah kota berada di Milan di Italia, ada sebuah bangunan bernama gedung St. Maria delle grazie. Gedung itu dibangun oleh seorang bangsawan Milan, The Duke of Milan Fransesco I sforza . Yang menarik dari gedung itu adalah ada sebuah lukisan di dindingnya yang dilukis oleh Leonardo da Vinci, penuh dengan kode kode geometri modern. Lukisan itu bernama "The last supper" atau "Makan malam terakhir". Sketsa-sketsa lukisan itu sangat jelas diisi dengan bentuk bentuk dasar geometris, mulai dari segitiga, persegi, dan lingkaran yang berusaha mengikuti keadaan asli tiga belas orang yang sedang duduk di meja makan. Bentuk segitiga di lukisan itu digambarkan sebagai ruang yang melambangkan tokoh sentral. Di sebelah kanan dan kiri segitiga, ada bentuk-bentuk bangun datar persegi panjang yang posisinya tak lebih tinggi daripada segitiga yang menjadi sentral. Lalu, penempatan benda-benda di sekitar tokoh-tokoh itu juga dilukis dengan kaidah geometri bangun datar yang ketat, seolah-olah kita dapat menarik garis lurus yang akan berpusat pada satu titik, yaitu tokoh sentral (Jesus) dalam lukisan itu. Dalam pengambilan garis lurus ke Jesus ternyata sangat rapi hingga membentuk banyak fraktal dari segitiga sebuah konsep fraktal dari berbagai bentuk geometri yang membentuk satu kesatuan sebagai wujud dari citra subjek. 


Lalu, diperkirakan di periode yang sama dengan dibuatnya lukisan The last supper di Eropa, jauh dari kata teknologi informasi di pulau Bali, Nusantara ada seorang cendekiawan yang juga membuat lukisan pada sebuah papan. Lukisan itu berjudul "Smaradhana". 

Tentu saja lukisan yang ada di Indonesia saat ini kebanyakan berbentuk replika, karena lukisan aslinya tersimpan sebagai koleksi Rijkmuseum di Leiden, Belanda. 

Lukisan ini memang terlihat acak, tak beraturan, tak teratur, tidak seperti lukisan The last supper yang tertata dengan geometri yang rapi. Tapi, sebagaimana dengan lukisan The last supper yan punya tokoh sentral, lukisan Smaradhana juga ternyata punya tokoh utama dan narasi dibalik gambar yang seolah olah acak. 

Dikisahkan bahwa dewa Siwa sedang pergi bertapa, ketika seorang raksasa bernama Taraka sedang menyerang para dewa di kahyangan. 

Diramalkan, tak ada satupun yang sanggup mengalahkan Taraka, kecuali putra dewa Siwa sendiri.

Di tengah kebingungan para dewa dengan situasi yang kacau, dewa Indra akhirnya mengutus dewi Uma. Yang sebenarnya adalah reinkarnasi Sati, istri pertama dewa Siwa, agar menikahi Siwa kembali. 

Sayangnya Dewa Siwa tidak tertarik dan tetap melanjutkan pertapaannya. Melihat itu, dewa Indra akhirnya mengutus dewa cinta, "Kama" untuk memanah dewa Siwa supaya jatuh cinta kembali kepada Dewi Uma, sehingga keduanya dapat memiliki keturunan bernama "Ganesha" yang dapat menaklukkan Taraka. 

Sayangnya panah dewa kama malah membuat dewa Siwa murka, dewa Kama justru terbakar oleh api dewa Siwa. Meskipun pada akhirnya dewa Siwa kembali jatuh cinta pada Dewi Uma. Dan memiliki keturunan yang sudah diramalkan. 

Lalu di lukisan Smaradhana ini mengisahkan cuplikan kejadian setelahnya, jika diperhatikan secara seksama, dibagian atas lukisan Smaradhana, kita bisa melihat ruang tidur Dewi Ratih, istri dari dewa Kama. 

Selanjutnya, kita melihat Dewi Ratih sedang menggerai rambutnya sebagai tanda bahwa dirinya berduka. Ia berjalan ke tempat dewa Kama yang terbakar hingga tewas oleh bara mata dewa Siwa dan menggali tulang belulang suaminya. 

 Di sisi bawah kiri lukisan, terlihat dewa Siwa bersama penggawanya, Nandiswara dan mahakala. Di sisi itu, Dewi Ratih memohon kepada dewa Siwa agar dirinya turut dibakar karena ingin bernasib sama dengan suaminya. Seperti yang terlihat pada tengah lukisan tersebut. 

Ternyata, kedua lukisan ini memiliki geometri yang berbeda. The last supper 

dilukis dengan struktur geometri geometri. Terlihat unsur segitiga, persegi dan trapesium yang kental di lukisan ini.

Sementara Smaradhana yang terlihat acak ini, ternyata dilukis dengan pola geometri seperti fraktal. 

Ditemukan pola dari ketidak aturannya, dan terangkum sederet peristiwa yang disampaikan dari pola itu. Lantas, pola geometri fraktal di lukisan Smaradhana itu bukankah sebuah konsep matematika yang baru diformalkan oleh Benoit Mandelbrot pada abad ke-20?

Sedangkan Smaradhana ini telah dilukis pada abad ke-15, jauh sebelum konsep itu ditemukan.

Apa jangan jangan, memang ada sesuatu di balik budaya tradisi kita? Semacam pengetahuan yang belum terjamah?

Kalau diingat-ingat lagi cerita tentang Pasteur, bukankah, awal penemuan tentang bakteri yang mendunia itu, justru muncul dari masalah wine lokal di sebuah kota kecil? 

Kenapa penemuan semacam itu nggak muncul di masyarakat lokal?


Sumber : 

Sandinusantara

Komentar

Postingan Populer