ALAM SEMESTA DALAM IMPLIKASI PENDIDIKAN ISLAM

Sunting : septino 

Penciptaan alam semesta merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Tidak sedikit ayat Al-Qur’an mengajak kita untuk merenungkan ciptaan-Nya tak terkecuali tentang alam semesta. Alam semesta adalah ruang dimana di dalamnya terdapat kehidupan biotik maupun abiotik serta segala macam peristiwa alam yang dapat diungkapkan maupun yang belum dapat diungkapkan oleh manusia. Sangat banyak misteri alam semesta yang belum diketahui oleh manusia. Salah satu misterinya adalah tentang sistem alam semesta yang terdiri dari proses penciptaan alam semesta, perputaran benda-benda yang ada di alam semesta dan lintasan (orbit). Terlebih dahulu artikel ini mencoba memaparkan dan menganalisa tahapan-tahapan penemuan ilmuwan tentang sistem alam semesta. Dalam sains tercatat berbagai pengetahuan tentang perkembangan konsep alam semesta. Ptolemeus yang hidup antara 70-147 Masehi mengemukakan sebuah teori yang dinamakan Geosentris. Teori ini mengemukakan bahwa yang menjadi pusat dari tata surya adalah Bumi (Geo). Semua planet dan benda-benda ruang angkasa lainnya bergerak sesuai lintasannya (orbit) mengelilingi Bumi. Manusia saat itu sangat menyakini teori ini. Teori Geosentris ini, bertahan lebih dari 1400 tahun. Baru pada 1473-1543 Masehi, seorang ilmuwan yang bernama Copernicus membalikkan keyakinan yang sudah bertahan lebih dari 1400 tahun, dengan mengemukakan teorinya yang bernama Heliosentris. Teori ini mengemukakan bahwa yang menjadi pusat dari tatasurya adalah Matahari (Helio). Semua planet dan bendabenda angkasa lainnya, termasuk Bumi bergerak sesuai lintasannya (orbit) mengelilingi Matahari. Sebenarnya Copernicus bukanlah yang pertama. Jauh sebelum Copernicus, ilmuwan Islam dan Yunani kuno telah mencetuskan teori ini. Namun, sebelum diterbitkan Copernicus tidak menyertakan bagian temuan mereka dan mengklaim bahwa itu adalah temuannya sendiri. Teori Heliosentris ini, kemudian diperkuat dengan temuan Kepler dan Galileo yang hidup antara tahun 1568-1630 Masehi. Kepler berhasil menjelaskan gerakan planet di dalam tata surya yang dirangkum dalam tiga hukum gerakan planet Kepler, yaitu 1) setiap planet bergerak dengan lintasan ellips, Matahari berada di salah satu fokusnya, 2) luas daerah yang disapu pada selang waktu yang sama akan selalu sama, 3) perioda kuadrat suatu planet berbanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari. Teleskop yang ditemukan Galileo semangkin memperkuat bahwa Matahari pusat alam semesta, sehingga temuannya ini memperkuat teori Heliosentris. Setelah itu penelitian penelitian tentang alam semesta terus dilakukan. Pada tahun 1903 Einstein mengemukakan bahwa jagad raya adalah sistem yang tertutup dan tidak meluas terus menerus. Pendapat Einstein ini hanya bertahan selama 12 tahun, karena pada tahun 1915 Eisntein membantah sendiri pendapatnya dengan mengemukakan teori yang mengatakan bahwa alam semesta tidak mungkin statis tetapi alam semesta akan terus mengembang sampai pada batas ke-elastisitasnya. Perumpamaan teori Einstein ini, seperti menggoreng kerupuk awalnya kerupuk akan terus mengembang sampai pada batas tertentu, selanjutnya akan menggulung kembali. Begitulah alam semesta, pada saat ini proses pengembangan itu terjadi terus menerus dan kontinu. Hubble pada tahun 1929 memperkuat teori yang dikemukakan Einstein. Dengan teleskopnya yang lebih canggih Hubble menemukan kumpulan galaksi seperti bunga mawar merah. Temuan Hubble ini dan diaplikasikan dengan konsep gelombang elektromagnetik dan efek dopler dapat dianalisa sebagai berikut: 1) warna merah termasuk bagian cahaya tampak (visible light) yang mempunyai frekuensi paling kecil pada spektrum gelombang elektromagnetik, 2) benda bergerak menjauhi frekuensinya semakin kecil dan sebaliknya benda bergerak mendekati frekuensinya semakin besar. Galaksi adalah kumpulan benda-benda ruang angkasa yang jumlahnya milyaran, apalagi yang ditemukan adalah kumpulan galaksi, bisa dibayangkan banyaknya benda benda ruang angkasa disana. Kumpulan galaksi yang ditemukan Hubble berbentuk bunga mawar dan memancarkan warna merah. Artinya benda-benda angkasa di galaksi galaksi tersebut memancarkan frekuensi yang semakin kecil. Bila kita komparasikan dengan teori gelombang elektromagnetik dan efek dopler dapat disimpulkan bahwa semua benda-benda di galaksi galaksi itu bergerak saling menjauhi. Ini membuktikan bahwa memang alam semesta ini semakin mengembang. Jadi apa yang ditemukan Hubble sangat memperkuat teori yang dikemukakan Einstein. Perlu dicatat bahwa teori ini baru ditemukan pada tahun 1929, padahal jauh sebelum itu lebih dari 1400 tahun yang lalu, antara 70-1473 M, Nabi Muhammad SAW (571-634 M) melalui Al-Quran telah mengabarkan hal ini. Dalam Q.S. Ar-Rahman 55:37-38 Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilauan) minyak. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Karena cakupan alam semesta yang begitu luas, tidak heran terdapat berbagai macam konsep dan gagasan tentang asal mula dan proses penciptaan alam semesta ini. Dari masa Yunani Kuno (Adhim, 2018), yang oleh banyak para pengkaji filsafat dikenal sebagai peradaban yang pertama kali membebaskan manusia dari penjara mitologi. Konon peradaban ini juga yang menjadi awal pertama kali membuka gerbang kepada pendekatan ilmiah yang pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang (Karim, 2014). Para filosof generasi awal ini yang dikenal dengan julukan filosof alam atau filosof pra-Socrates mencoba untuk mencari penjelasan atas peristiwa-peristiwa alam semesta (Alim, 2019). Salah satunya yang paling masyhur ialah Thales, dengan pemikirannya yang menyatakan bahwa asal atau zat primordial yang menjadikan segala kehidupan di alam semesta ini adalah air. Diikuti oleh muridnya Anaximander yang mengatakan bahwa asal atau permulaan yang pertama kali tidak dapat ditentukan (apeiron) karena tidak ada yang serupa dengan sifat-sifat zat yang ada sekarang. Anaximander mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari substansi yang tidak terbatas, abadi, tidak luput dimakan usia, serta melingkupi seluruh alam semesta. Karena segala sesuatu yang ada sekarang terbatas, maka pastilah sesuatu yang menjadi asal segala sesuatu tak terbatas. Kemudian Anaximenes yang mempunyai keyakinan bahwa asal mula alam semesta ialah udara (Maksum, 2019). Pythagoras yang dikenal sebagai bapak bilangan juga ikut menyumbangkan pemikirannya. Karena menurut Phytagoras bahwa segala sesuatu di alam semesta menemukan relasinya dengan matematika, dan dengan asumsi bahwa segala sesuatu dapat diidentifikasi dengan siklus beritme sebagai parameternya. Maka Phytagoras mengatakan bahwa dasar segala segala sesuatu adalah angka-angka, oleh sebab itu dinyatakan olehnya bahwa orang yang tahu dan mengerti betul akan angka-angka, ia juga tahu akan segala sesuatu di alam semesta. Hal yang mencolok dari teori angka Phytagoras ini adalah bahwa dengan sifatnya yang tidak hanya menyerukan pada visi lahiriyah, tetapi mengantarkan kepada suatu hal yang lebih dalam, lebih dekat kepada hakikat. Menurutnya Tuhan adalah Keesaan Agung yang menjadi asal segala sesuatu, yang mana dalam Zat Tuhan tidak memiliki angka, namun Tuhan yang menjadi sebab atau penyebab angka-angka tersebut (Boer, 2019). Filosof Islam seperti Al-Farabi juga memberikan sumbangan khazanah dalam hal ihwal alam semesta ini. Al-Farabi – yang nampaknya terinspirasi dari Plotinus seorang filosof emanasi – mengungkap bahwa alam semesta diciptakan melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta, yang mana emanasi tersebut terjadi melaui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang zat-Nya, dengan kata lain, berpikrinya Tuhan tentang zat-Nya merupakan sebab daripada adanya alam semesta ini (Zalprulkhan, 2019). Menurut Al-Farabi, Allah Maha Sempurna, terlalu rendah bagi Allah untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna, Allah cukup memikirkan zat-Nya, maka terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran yang mana dari energi inilah terjadi Akal Pertama, lalu Akal Pertama berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kedua dan berpikir tentang dirinya menghasilkan langit pertama, kemudian Akal Kedua berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Ketiga dan berpikir tentang dirinya menghasilkan bintangbintang, dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh, karena daya Akal Kesepuluh ini sudah lemah, maka ia tidak lagi dapat menghasilkan akal sejenisya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan materi pertama yang menjadi empat unsur pokok yaitu air, udara, api dan tanah (Zar, 2019). Kemudian Ibnu Sina, yang sama menganut paham emanasi seperti Al-Farabi. Namun terdapat perberbedan pemikiran antara Ibnu Sina dengan Al-Farabi (Alahwani, 2008). Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya Jika ditinjau dari hakikat dirinya, dengan demikian objek pemikiran akal-akal menurut Ibnu Sina menjadi tiga, yaitu Allah, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mungkin wujudnya, dari pemikiran tentang Allah timbul akal-akal, kemudian dari pemikiran dirinya tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbulah jiwa-jiwa, dan dari pemikiran dirinya tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbulah langit-langit (Nasution, 2014). Sekilas demikianlah daripada perbedaan paham emanasi Ibnu Sina dan Al-Farabi tentang asal mula dan proses alam semesta (Zarkasyi, 2018). Apabila berbicara mengenai tujuan penciptaan alam semesta, maka perlu diketahui sebelumnya bahwa ada dua titipan atau amanah Allah kepada manusia, yaitu alam semesta dan kitab suci, jika alam semesta adalah produk ke Mahabesaran Allah, kitab suci adalah petunjuk tentang cara bersyukur dan cara beribadah kepada Allah, cara berinteraksi dengan sesama dan cara berinteraksi dengan alam semesta (Muhammad, 2018). Oleh sebab itu, dalam hal ini bagaimana Al-Qur’an yang merupakan kitab suci yang Allah turunkan sebagai petunjuk bercerita tentang tujuan penciptaan alam semesta. Al-Qur’an menceritakan bahwa alam semesta ini bukan tanpa manfaat, tujuan, dan hikmah dibalik penciptaannya. sebagaimana dalam surah Surah AlAnbiyaa’/21 ayat 16 dan surah Shaad/38 ayat 27. Dalam beberapa ayat menunjukkan bahwa alam semesta Allah SWT ciptakan untuk kemaslahatan manusia, mulai dari kekayaan alam yang terdapat di hutan, laut, perut bumi, maupun ruang angkasa pada dasarnya diperuntukkan untuk manusia (Daulay, 2014).

Alam Semesta merupakan manifestasi sekaligus aktualisasi daripada KeMahabesaran dan cinta kasih Allah SWT, dengan segala macam dialektika unsur, kekuatan, dan hukum-hukum alam semesta, mengisyaratkan pesan-pesan spiritual kepada manusia. Segenap struktur maupun fenomenanya yang eksentrik dan beragam, mengantarkan kepada suatu nilai absolut yang dapat dipahami apabila memahaminya secara holistik, tidak sekadar pada asumsi pengamatan yang berbasis kepada pengamatan empirik. Karena pada dasarnya pengulangan kitab suci Al-Qur’an terhadap redaksi yang berhubungan dengan anjuran untuk melakukan pengamatan serta memikirkan alam semesta mengandung spirit untuk menjelaskan keluhuruan dari realitas yang lebih tinggi.

Qadim dan baharunya alam semesta menjadi perdebatan antara al-Ghazali dan para filsuf Muslim lainnya, terutama yang memberikan reaksi atas ide al-Ghazali, yaitu al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Bagi al-Ghazali, apabila alam dikatakan qadim (tidak bermula; tidak pernah tidak ada), mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Allah. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Allah. Ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Allahlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi dan segala isinya). Menurut al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Allah ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Allah menciptakan alam, maka alam ada di samping adanya Allah.

Filsuf Muslim seperti, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Alam itu qadim justru karena Allah menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil Allah ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa

pada awalnya Allah tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, mustahil berubah dan oleh sebab itu mustahil pula Allah berubah dari awalnya tidak atau belum mencipta kemudian mencipta.

Landasan pemikiran al-Ghazali mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Allah yang qadim, yaitu Allah sebagai Wujud yang tertinggi dan Kehendak unik yang bertindak secara aktual. Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui. Maha perkasa dan Maha Berkehendak. Dia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Dia kehendaki dalam bentuk yang Dia kehendaki.

Al-Ghazali memberi ulasan bahwasanya jika Allah menginginkan dengan mudah mewasiatkan agar alam tercipta pada waktu tertentu pada masa datang. Dalam al-Qur’an

telah ditunjukkan yang perlu dikatakan Allah adalah “Jadilah, maka jadilah ia” (Q.S.Yasin:82).29 Al-Ghazali menegaskan bahwa alam ini adalah ciptaan Allah, oleh karena itu alam bersifat baharu. Dengan demikian, keduanya berbeda fungsi dan kedudukan, di mana

Allah pencipta dan alam sebagai ciptaan, maka yang pertama adalah qadim, sedangkan yang terakhir adalah baharu. Lebih jauh, Allah adalah sebab bagi wujud yang baharu, sedangkan wujud yang baharu itu selalu membutuhkan kepada sebab yang menjadikannya.

Kebaharuan alam semesta tampak jelas dari unsur-unsur kebaharuan yang melekat padanya, seperti jism, jawhar, dan ‘arad. Segala jism yang terdapat pada alam tidak terpisahkan dari peristiwa yang melekat padanya, yakni berubah, bergerak dan tetap. Dengan begitu, alam semesta ini mustahil qadim.

Lebih jauh, al-Ghazali mengatakan, Allah adalah pencipta yang aktif berkuasa, memelihara dan memberi rahmat bagi seluruh alam semesta. Ia juga berpendapat bahwa siapa saja yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya. Mengikuti tradisi ulama kalam ‘Al-Asy ’ari, pandangannya tentang wujud Allah, didasarkan dua bentuk argumentasi, yaitu dalil naqli dan aqli. Penggunaan dalil naqli yaitu melalui perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an sambil memerhatikan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Melalui perenungan terhadap ayat dan fenomena alam semesta, baginya manusia akan sampai pada pengakuan atas wujud Allah. Adapun melalui pembuktian wujud Allah melalui

dalil aqli, al-Ghazali membedakan antara wujud Allah dan wujud makhluk; wujud Allah adalah qadim, sedangkan wujud makhluk adalah Hadist.

Bagi orang-orang seperti al-Ghazali, sifat qadim yang diletakkan pada Allah, adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat diubah oleh siapa pun. Keyakinan ini didasarkan pada argumentasi bahwa, jika Allah baharu (Hadist), maka Dia memerlukan sebab lain untuk menjadi ada, sementara Allah adalah wujud yang tidak memerlukan wujud lain untuk berwujud (Eksis). Karenanya, Allah mustahil tidak qadim. Maksud dari pandangan alGhazali yang mengatakan bahwa alam ini tidak qadim dan Allah yang qadim, menyatakan bahwa umat Islam mesti mengakui Allah sebagai Wujud tertinggi dan berkehendak. Prinsip pertama yang harus diletakkan bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha perkasa dan Maha Berkehendak; Dia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Dia kehendaki. Selanjutnya, Dia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana Dia kehendaki dan bentuk yang dikehendakinya pula.

DAFTAR PUSTAKA

Wahyudin,Bima.(2022).Islam dan perkembangan edukasi alam semesta.Medan;UIN

Sartika,Lidya.(2015).Asas manusia dalam al qur’an dan edukasi alam semesta.Simalungun;STAI Panca Budi Perdagangan

Syahrial,Ayub&Gusti Afifah,Hairunnisa Saidu.(2019).Konsep alam semesta dalam Al-Qur’an.Mataram;Universitas Mataram

Hayani,Suma.(2013).Pandangan Al-Ghazali tentang alam semesta.Riau;UIN Sultan Syarif Kasim


Komentar

Postingan Populer