Pengislaman di tanah Batak
Sunting : Rizky septino
Pengislaman Tanah Batak
Perang Paderi, kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang
berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya
pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan
antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia
Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut
masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu.
Agama Islam masuk ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa
oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.2 Setelah kembalinya beberapa
tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera
Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi
kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi),
kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka
pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 M sampai 1833 M. 3
Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah
Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 M-1820 M dan kemudian mengislamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain
agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama
yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite)
Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 M Kerajaan Pagarruyung
di Minangkabau masih beragama Hindu.5
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk
setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak
mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari
Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.
Jauh beratus tahun dahulu sekitar abad keenam orang-orang India Selatan
dan India Tengah telah diusir keluar oleh penakluk berbangsa Aryan yang gagah
perkasa. Mereka berhijrah melintasi Gunung Himalaya ke Burma dan
kemudiannya turun ke Semenanjung Tanah Melayu dan akhirnya setelah melintasi
Selat Melaka mereka mendirikan penempatan di sekitar Batang Pane, Daerah
Labuhan Batu. Kerajaan mereka dinamakan Munda Holing iaitu Kerajaan Keling
dari Munda.
Kerajaan ini berkembang dengan jayanya sehingga dapat meluaskan tanah
jajahannya ke seluruh tepian pantai Selat Melaka hingga ke Singgora/ Patani.
Mereka telah mendirikan sebuah candi yang sangat indah dan besar yang kini
dinamakan Candi Portibi. Kerajaan ini juga dikenali sebagai Kerajaan Portibi.
Di abad kesembilan, kerajaan yang telah masyur ini mendapat perhatian
Kerajaan India Selatan. Perluasan empayarnya telah membimbangkan Maharaja
Rajenderasola dari India Selatan. Akhirnya Maharaja Rajenderasola telah
menyerang Kerajaan Portibi pada awal abad kesembilan.
Alkisah, mengikut ceritanya sewaktu Maharaja Rajenderasola menyerang
Kerajaan Portibi itu Baginda telah ditentang oleh seorang putera Munda Holing
bernama Raja Odap-Odap. Peperangan yang berlarutan itu memakan masa lebih
kurang tujuh tahun sehinggalah Maharaja Rajenderasola beroleh kemenangan.
Raja Odap-Odap yang tewas telah berkelana di Padang Lawas tanpa tentu arah tujuannya.
Kisah kerajaan Portibi pula semasa berlaku peperangan dengan Maharaja
Rajenderasola, tunang kepada Raja Odap-Odap bernama Boru Deakparujar telah
mendapat alamat supaya segera meninggalkan Kerajaan Portibi lantaran Dewata
Raya sudah tidak lagi menyebelahi mereka. Lalu Puteri Deakparujar itu pun
mengumpulkan pengikutnya serta menggenggam tanah Portibi dan berangkatlah
menuju matahari naik. Mereka terpaksa mendaki sebuah gunung yang tinggi yang
dinamakan oleh mereka Dolok Malea sempena nama Himalaya yang telah
dilintasi oleh nenek moyang mereka di abad yang keenam.6
Akhirnya setelah menuruni Dolok Malea mereka telah sampai di satu
kawasan yang pamah tetapi dikelilingi oleh bukit bukau. Mereka telah mendirikan
penempatan yang baru untuk orang-orang Munda Holing tersebut. Penempatan
tersebut dipanggil Pidoli yang kini terbahagi kepada Pidoli Dolok dan Pidoli
Lombang. Puteri Deakparujar diangkat memerintah Kerajaan Mandala Holing
iaitu kawasan orang-orang Keling. Kerajaan ini telah tegak dengan jayanya dan
sekali lagi berkembang maju. Segala dagang senteri mula singgah dan berniaga di
negeri tersebut hingga ianya termasyur ke mana mana.
Tersebut pula akan kisah tunangan Boru Deakparujar yang telah berkelana
di Padang Lawas, akhirnya Raja Odap-Odap pun sampailah di Pidoli yang
diperintah oleh Boru Deakparujar. Dalam keadaannya cumpang camping itu
tidak seorang pun anak negeri yang kenal akan raja mereka tersebut. Lagipun
tempoh perpisahan yang begitu lama selama tujuh belas tahun tentulah
masing-masing sudah berubah. Raja Odap-Odap pun dibawa masuk mengadap
Puteri Deakparujar untuk mendapatkan pekerjaan bagi menampung hidupnya.
Adat dahulu kala apabila rakyat mengadap raja, ianya hendaklah merangkak
kehadapan singgahsana lalu sujud di kaki raja tersebut. Keadaannya yang
cumpang camping dengan pakaian kulit binatang yang masih belum dibuang
ekornya itu mmberikan gambaran yang Raja Odap-Odap itu keadaannya
seperti cicak yang merangkak. Maka itu hingga ke hari ini di setiap rumah adat
orang-orang Batak akan kelihatan gambar cicak sebagai simbol pertemuan
Raja Odap-Odap dengan tunangannya Boru Deakparujar di Pidoli. Raja OdapOdap diambil bekerja di kandang kuda Puteri Deakparujar kerana
kecekapannya memelihara kuda. Pada suatu hari Puteri Deakparujar telah
dihadiahkan seekor kuda jantan yang sangat garang hingga tiada sesiapapun
yang dapat menjinakkannya sedangkan Puteri tersebut kepingin untuk
menunggangnya.Setelah banyak gembala kuda mencuba untuk
menjinakkannya tetapi semuanya gagal juga. Maka pada suatu hari Raja Odap Odap pun diminta oleh Tuan Puteri supaya menjinakkan kuda tersebut. Begitu
Raja Odap-Odap menghampiri kuda tersebut ianya menundukkan kepalanya
setelah diusap-usap kepalanya. Raja Odap-Odap pun menunggang kuda
tersebut dengan baiknya. Semua yang hadir kehairanan dan tercengangcengang. Memandangkan Raja Odap-Odap telah berjaya menjinakkan kuda
liar tersebut Puteri Deakparujar pun sangat gembira lalu dipersalinkannya Raja
Odap-Odap dengan pakaian yang baik-baik setelah selesai disintuk, berlangir
dan mandai. Begitu siap dipersalinkan maka dibawalah mengadap Tuan Puteri.
Alangkah terkejutnya Tuan Puteri apabila melihat wajah Raja Odap-Odap
yang mirip wajah tunangannya. Hampir sahaja Tuan Puteri pengsan jika tidak
cepat disambut oleh dayang-dayangnya. Mengikut adat hamba tidak
dibenarkan menatap wajah raja maka keadaan tersebut tidak diketahui oleh
Raja Odap-Odap, hinggalah Tuan Puteri memintanya mengangkat mukanya
menatap wajah Baginda. Kedua-duanya amat terperanjat dan terpinga-pinga
kerana tidak disangka mereka akan bertemu dalam keadaan sedemikian rupa.
Apabila kedua-duanya telah kenal antara satu sama lain lalu bertangisanlah
mereka. Gemparlah seluruh istana di Pidoli menyatakan bahawa gembala kuda
raja itu sebenarnya adalah putera Munda Holing yang hilang sekian lama.
Keadaan sedih menjadi gembira, lalu kedua anak raja itu pun dikahwinkan
dengan acara yang paling meriah selama empat puluh hari empat puluh
malam. Kedua-duanya pun memeintahlah Kerajaan Mandala Holing di Pidoli
tersebut. Namun begitu barang yang telah ditetapkan oleh Puteri Deakparujar
tidak pernah dihalang oleh Raja Odap-Odap, begitulah hormatnya baginda
akan tuan puteri yang merupakan tuan rumahnya. 7
Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan
seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim
di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang
tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat
dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti
Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di
Muara.8
Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk
menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas
Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -
satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus
diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal
menuju tempat yang mereka inginkan.
Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan
Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan
seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan
sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang
Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di
dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor
Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang
mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk
membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. 9
Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819 M,
ketika Jatengger Siregar yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah
pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao) memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja. Ibu dari Pongkinangolngolan
adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya
adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX.
Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII.
Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap
antara Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang
Sinambela. 10
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan
memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin
diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama
marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan
keluar untuk masalah ini.
Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,
yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu
upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir. Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datuk (tokoh spiritual) yang
dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa
Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X.
Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.11
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman
mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan
di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan
batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu
kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngolan.
Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datuk, karena selain tertutup tubuhnya,
juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra
kesayangannya.
Tubuh Rao yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan
kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya,
dengan berpegangan pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai Asahan, di mana
kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
Marpaung.
Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao
memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan
dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di
Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai
perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji
Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran
Syi’ah.
Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan
kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan
Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab
Hambali, termasuk rencana untuk mengIslamkan Mandailing. Tuanku Nan
Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar
mengenai nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan, bahwa Rao yang
adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki
dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya,
Datuk Bandaharo agar menyerahkan Rao kepadanya untuk dididik olehnya.12
Pada 9 Rabi’uawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan
dan Syahadat, Rao di Islamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan
Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar
Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari
belakang, maka akan terbaca: Batak!13
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 M dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut.
Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan
yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.
Beberapa orang yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang
Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan
kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat
menyelamatkan diri pada tahun 1871 M.
14
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah
dan Syria tahun 1815 M, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat
menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku
Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu
menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.15
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun
1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan
oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa
menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan
untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah
itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang
dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak
sendiri.
Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam,
ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap),
Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan
(Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat
(Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung),
Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan
Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan
tahun 1819 M. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger
Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor
Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua,
yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk
melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun
Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih
muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.
Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke
ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih
belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding.
Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya
adalah putra Sisingmangaraja tujuh kemenangan dan empat kemenangan untuk
Putra Siregar. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus
dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari
penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam
pertempuran.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820 M, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang
memasuki Tanah Batak tahun 1818 M, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua
tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan
mati karena berbagai penyakit.16
Tahun 1820 M Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah
Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar
Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang
masuknya tentara Belanda.
Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol,
dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali
ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku
Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali
Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing
dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
sebagai gelar Minangkabau.17
Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari.
Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras
Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan
mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan
Kotapinang, dan ia menjadi raja.
Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September
1821 M, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan
kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang
dijadikan selirnya.
Tahun 1292 M, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai
orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama
dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 M
dan mengIslamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah
mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan
dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawinmawin dengan perempuan Batak. 18
Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengahtengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengIslaman besar-besaran
atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas
wilayah Toba, tidak dapat mengIslamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya
mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan
dalam mengIslamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.
Gelombang pertama masuknya Islam ke Sumut berlangsung sebelum
dinasti Sisingamangaraja dimulai pada sekitar pertengahan tahun 1500 M. Dugaan
paling kuat tentang awal masuknya Islam ke Sumut, adalah melalui transit pelayaran antara India atau Persia di sebelah barat dengan Tiongkok di bagian
timur. Seperti dinyatakan Ridwan, pelaut-pelaut itu singgah di Barus dalam
urusan pribadi, untuk berdagang, bukan penyebaran agama.
Menurut penelitian Hasan Muarif Ambary dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional pada tahun 1978 M hingga 1980 M dan diulangi pada tahun 1995 M, di
dua komplek makam kuno itu terdapat lebih dari 100 kuburan. Makam tertua di
komplek itu adalah makam Tuhar Amisuri. Wafat tahun 602 H atau 1212 M.
Makam tersebut 94 tahun lebih tua dibanding makam Sultan Malikul Shaleh di
Mounasah Beringin, Kutakarang, Aceh.
Dengan bukti baru itu, Hasan yang juga guru besar di Fakultas Adab,
Institut Agama Islam Negeri Jakarta dan Ketua Dewan Kurator Bayt Al Qur’an
dan Museum Istiqlal, Jakarta, menduga bahwa komunitas Islam lebih dulu
terbentuk di Barus, daripada di Aceh. Namun karena tak ada bukti-bukti sejarah
lebih kuat, tidak bisa disimpulkan bahwa Barus yang masuk dalam wilayah
Tapanuli, merupakan kota Islam pertama di Nusantara.
Walau Islam pertama sekali masuk melalui Tapanuli, namun karena
ketiadaan pendakwah secara khusus itu, maka Islam diterima dengan dangkal
serta masih dicampuri dengan mistik karena adat budaya lokal masa itu adalah
animisme. Masa persinggahan pedagang Arab itu ternyata tidak cukup lama untuk
menanamkan ajaran Islam secara utuh. Sesudah kedatangan suku Portugis ke
Nusantara sekitar abad ke 15, maka para pelaut pedagang Islam itu menghilang
karena selalu mendapat serangan dari pelaut Portugis. Pusat perdagangan pun
sudah berpindah ke Selat Malaka. Akibatnya Barus hilang dalam peta pelayaran
internasional.
Namun kedatangan sementara pedagang Muslim itu telah menyebabkan
pembauran budaya. Sebagian orang Batak di wilayah Barus mulai mengadaptasi
Islam. Mereka yang beragama Islam karena proses pernikahan antara para
pedagang Persia dengan penduduk lokal, dengan sendirinya menyisakan corak
Islam, walau ajaran Islam belum diterima secara sempurna.
Gelombang Kedua Melalui Aceh Pedagang Parsia yang singgah di Barus,
diyakini merupakan suatu kafilah dengan tujuan utama daratan Tiongkok (China).
Selain di Barus, sebagian di antara mereka juga mendarat di Aceh. Diduga kuat, di
sini proses penyebaran lebih serius. Terbukti Kerajaan Samudera Pasai kemudian
berdiri dan menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Aceh menjadi kerajaan kuat. Sempat berkuasa hingga ke Bengkulu,
Malaka dan termasuk Minangkabau. Di Minangkabau, kekuasaan Aceh terutama
di kawasan pesisir barat, seperti Tiku, Padang, Salido, Indrapura serta Pariaman.
Aceh pernah mengangkat seorang sultannya di Pariaman, Sulthan Mughal, cucu
dari Sultan Aceh Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1576 M dia dijeput ke Pariaman
dan dilantik menjadi Sultan Aceh dengan gelar Sultan Seri Alam. Kekuasaan
Aceh berakhir tahun 1663 M, seiring dengan masuknya kongsi dagang Belanda,
VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).19
Aceh juga tercatat pernah menaklukkan Kerajaan Aru atau Haru, Kota
Medan sekarang, pada bulan Januari dan Nopember 1539 M. Penyerangan itu
akhirnya membuat sebagian besar penduduk Haru masuk Islam. Haru lantas
menjadi kerajaan Islam pertama di wilayah Sumut sekarang. Islam dari Aceh ini
menyebar kawasan pantai timur Sumut. Sebab itu umat Islam yang bermukim di
pinggiran pantai timur seperti Medan, Asahan hingga Labuhan Batu merupakan
buah penyebaran dari Aceh ini.
Gelombang Terakhir Syawal 1233 H atau sekitar tahun 1816 M. Tak
kurang dari lima ribu orang pasukan berkuda Tentera Paderi masuk ke
Mandailing, yang merupakan daerah perbatasan Sumatera Utara (Sumut) dengan
dengan Sumatera Barat sekarang. Seperti semua penunggang kuda, Tuanku Rao
yang bernama Fakih Muhammad, pemimpin pasukan ini mengenakan jubah putih
dengan serban di kepala, khas Tuanku Imam Bonjol.
Mereka masuk melalui Muara Sipongi dan menaklukkan Penyambungan
dan terus bergerak ke utara. Misi utama penyerangan itu untuk mendirikan Islam
yang kaffah, yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist sesuai dengan paham Islam
Wahhabi yang dianut Paderi.
Menurut Ompu Buntilan alias Batara Sangti dalam bukunya Sejarah
Batak, Sisingamangaraja X yang lahir pada tahun 1785 M, meninggal dunia pada tahun 1819 M dalam usia 34 tahun. Waktu dia baru berkuasa sebagai raja selama
empat tahun saja. Satu hal yang pasti, penyerangan itu memakan banyak korban.
Pada masa kuno pun telah terjadi persebaran dan percampuran antar ras
manusia yang melahirkan peradaban-peradaban baru. Hornell seorang peneliti
khusus Indonesia menemukan data bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
bahkan telah merantau sampai ke Sailon (Srilanka), India Selatan dan
Madagaskar. Hal ini diketahui dari digunakannya perahu cadik yang merupakan
khas Indonesia di daerah-daerah itu, adanya suku bangsa Parawar dan Shanan
yang perawakannya mirip orang Indonesia, diketahuinya pohon
kelapa di India berasal dari Indonesia dan bahasa Malagasi di Madagaskar
termasuk ke dalam rumpun bahasa-bahasa di Indonesia.
Sebenarnya suku bangsa Batak sama seperti sebagian besar suku-suku
bangsa lainnya di Indonesia adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika Bangsa
Batak masih satu rumpun dengan suku-suku bangsa lainnya adalah kaum
pendatang. Tidaklah heran jika bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku
Toraja di Sulewesi Selatan dan dengan Suku Karen di Mnyamar (Burma).
Walaupun sampai kini belum ditemukan peninggalan tertulis sejarah Batak
seperti prasasti namun keberadaan daerah yang kita kenal sebagai Sumatera
Utara saat ini sudah dikenal sejak masa-masa awal Masehi. Ptolomeus yang
hidup pada pertengahan abad kedua Masehi di Kota Iskandariyah, Mesir
menulis buku Geographia yang tetap jadi buku pegangan hingga abad ke- 15
M menyinggung tentang Pulau Sumatera dan pelabuhan Barus (Fansur) yang
ia sebut dengan nama Barousai yang kira-kira terletak di Desa Lobu Tua (
Labadiou). 20
Dalam literature Hindu India, Pulau Sumatera disebut Karpuradwipa yang
berarti ‘Pulau Kapur (Barus)’ dengan pelabuhannya yang terkenal Baraukacha
(Barus). Barus dikenal terutama karena perdagangan kapur barus yang sangat
popular masa itu. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan sebagai dasar bahwa
agama Islam telah masuk ke Tanah Bata melalui Barus sejak masa Nabi
Muhammad masih hidup atau tidak lama setelah beliau mangkat.
1
Schrieve, Brian Harrison, Asia Tenggara Suatu Sejarah Ringkas. (Kuala
Lumpur:Kementrian Pelajaran Malaysia, 1966), h.115 2
H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. (Jakarta:Grafiti Press, 1986), h. 105-107 3
Hasbullah Bakry, “Pandangan Islam tentang Kristen di Indonesia” (Peninjau Thn XI,
1&2, 1984) h. 26 4
Ibid, h. 28
Komentar
Posting Komentar