BERFIKIR SISTEMATIS
Sunting : Rizky Septino
A. Defenisi Berfikir
Sistematis
Istilah dari logika, dilihat dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu. Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat. Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu. Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M.Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metodemetode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Dengan menekankan pengetahuan tentang metodemetode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir yang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran.
Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir. Lapangan penyelidikan logika adalah manusia itu sendiri, karena hanya manusialah yang mampu melakukan aktivitas berpikir. Manusia tersebut hanya dipelajari menurut aspek tertentu, yaitu budi atau berpikirnya, terutama berkaitan dengan aturan berpikir. Aspek berpikir dari manusia itulah yang kemudian disebut dengan istilah objek material logika. Aturan berpikir dipelajari dalam logika agar manusia dapat berpikir dengan semestinya, sehingga tercipta teknik-teknik berpikir yang menuntun cara berpikir lurus. Teknik-teknik berpikir yang dipelajari dalam logika tentu dilandasi oleh bentuk-bentuk dan hukum-hukum berpikir yang diselidiki dan dirumuskan oleh logika. Taraf kebenaran yang akan dihasilkan oleh logika adalah pada taraf kebenaran formal atau kebenaran bentuk. Kebenaran materi dan kriterianya akan diperoleh menurut bidang ilmunya masing-masing terutama dalam kajian epistemologi.
B.Unsur – unsur
Penalaran
1.
Pembentukan Imajinasi Manusia dapat mengetahui hakikat suatu objek, atau
setidaknya dapat berpikir tentang hakikat tersebut, karena manusia dpaat
menciptakan sebuah konsep. Manusia juga dpaat memahami hakikat benda yang
diketahui, sebagai ilustrasi misalnya, melalui panca indera manusia dapat
menangkap benda-benda sesuai dengan individualitas keunikannya, sebagai salah
satu bagian dari realitas. Mungkin memahmi sebuah meja yang konkrit, indidual
dan khusus. Gambaran perseptual seperti itu selanjutnya akan tercetak dalam
benak yang bersangkutan dan membentuk imajinasi yaitu imajinasi perseptual.
Bagaimana proses terbentuknya sebuah imajinasi tersebua ? Pada mulanya pikiran
memahami hakikat objek dalam wujud angan-angan atau fantasi (gambaran yang ada
di luar imajinasi perseptual). Segera sesudah ikiran membuat abstraksi tentang
hakikat objek tersebut, proses ini mendorong pikiran untuk membentuk gagasan
tentang objek tersebut,. Jadi panca indera menangkap objek khusus, dan pikiran
mengabstraksikan hakikatnya, sehingga daptlah dikatakan bahwa pancaindera dan
pikiran saling bekerjasama membentuk gagasan.
2. Definisi Idea atau Gagasan Yang dimaksudkan gagasan atau idea adalah gambaran akal budi tentang suatu objek misalnya gagasan "seekor sapi" merupakan imajinasi tentan seekor binatang yang mempunyai ciri-ciri khas yang dimiliki seekor sapi. Oleh karenaya gagasan tentang "seekor sapi" itu dapat diterapkan pada binatang spai jenis manapun tanpa harus memperhatikan perbedaan khusus yang terdapat pada berbagai jenis sapi. Sebaba berbagai jenis sapi itu empunyai kualitas hakikat yang berlaku umum. Jadi tampaklah perbedaan yang mencolok antara pengertian (persepsi) dan gagasan. Pengertian berhubungan dengan pengetahuan tentang sauatu hal yang konkret, khusus dan individual sebagaimana ditangkap lewat penginderaan, sementara gagasan berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan universal.
C. Prinsip dasar Logika
Asas adalah pangkal atau asal dari mana suatu itu muncul dan dimengerti. Maka “Asas Pemikiran” adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :
1. Asas Identitas (principium identatis = qanuun zatiyah) Asas identitas merupakan dasar dari semua pemikiran dan bahkan pemikiran yang lain. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila dijadikan rumus maka akan berbunyi “Bila proposisi itu benar maka benarlah ia”.
2. Asas kontradiksi (principum contradictoris = qanun tanaqud) Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuanya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas hanya satu sebagaimana disebut oleh asas identitas. Dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jika dirumuskan maka akan berbunyi “Tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”.
3. Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi tertii = qanun imtina’) Asas ini mengatakan pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu tidak mungkin keduanya benar dan juga tidak mungkin keduanya salah. Jika kita rumuskan akan berbunyi “Suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”.
Ada tiga hukum dasar logika formal.
Yang pertama dan terpenting adalah hukum identitas. Hukum tersebut dapat disebutkan dengan berbagai cara seperti: “sesuatu adalah selalu sama dengan atau identik dengan dirinya, dalam Aljabar: A sama dengan A.” Rumusan khusus hukum tersebut tak terlalu penting. Pemikiran esensial dalam hukum tersebut adalah seperti berikut. Dengan mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam segala kondisi tertentu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah. Keberadaannya absolut. Seperti yang dikatakan oleh akhli fisika: ” materi tidak dapat di buat dan dihancurkan.” Materi selalu tetap sebagai materi. Jika sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama atau identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak sama atau berbeda dari dirinya.
Kesimpulan
tersebut secara logis patuh pada hukum identitas: Jika A selalu sama dengan A,
maka ia tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A). Kesimpulan tersebut dibuat
secara eksplisit dalam hukum kedua logika formal: hukum kontradiksi. Hukum
kontradiksi menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. Itu tidak lebih dari sebuah
rumusan negatif dari pernyataan posistif, yang dituntun oleh hukum pertama
logika formal. Jika A adalah A, maka menurut pemikiran formal, A tidak dapat
menjadi Non-A. Jadi hukum kedua dari logika formal, yakni hukum kontradiksi,
membentuk tambahan esensial pada hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak
dapat menjadi bukan manusia; demokrasi tidak dapat menjadi tidak demokratik;
buruh-upahan tidak dapat menjadi bukan buruh-upahan.
Boereswati,Hendri.Ruang Lingkup Filsafat.Cimahi;Pustaka
Sinar Harapan,2011
Widyawati,Setia.Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Pendidikan.Jepara;Pustaka Hidayah,2014
Hidayat,Ainur
Rahman.Filsafat Berfikir.Pamekasan;Duta
Media,2018
Komentar
Posting Komentar